0 Dilihat

Kenapa sih, Shell, Vivo, dan APR batal beli BBM impor dari Pertamina?

Tags

 Kemarin sore, aku dan Dewi bertemu di Burgundy CafĂ©, tempat biasa kami melepas lelah sambil membicarakan hal-hal yang katanya “rahasia pasar.” Hujan baru reda, dan suasana Jakarta terasa lebih lambat dari biasanya.


Dewi meletakkan tasnya di kursi, lalu menatapku penuh selidik.

“Kenapa sih, Shell, Vivo, dan APR batal beli BBM impor dari Pertamina? Bukannya harusnya lebih murah?” tanyanya sambil meneguk latte.

Aku tertawa kecil.

“Murah di mulut, mahal di kalkulator, Dewi.”

Ia mengernyit, menunggu penjelasan. Aku lalu menghela napas, seperti seorang dosen ekonomi energi yang sudah lelah bicara di kelas penuh mahasiswa tidur.

“Pertamina menawarkan base fuel dengan kandungan etanol 3,5%. Regulasi ESDM jelas bilang: boleh sampai <20%. Secara hukum aman. Tapi buat SPBU swasta, masalahnya bukan hukum, tapi teknis. Etanol itu seperti mantan posesif—mudah menyerap air, bikin ribut di mana-mana. Kalau tangki SPBU mereka tidak disiapkan, bahan bakar bisa terpisah fase. Mesin konsumen mogok, siapa yang disalahkan? Bukan Pertamina, tapi Shell atau Vivo. Reputasi itu lebih mahal dari margin Rp 300 per liter.”

Dewi terkekeh, “Jadi mereka ogah karena takut dimaki pelanggan?”

“Lebih dari itu.” Aku membuka catatan di ponsel. “ Kalau satu SPBU harus upgrade tangki dan sistemnya, butuh Rp 2–3 miliar. Sementara margin jual BBM? Paling Rp 300–400 per liter. Dengan volume 5 juta liter per tahun, margin bersih Rp 1,5 miliar. Balik modalnya dua tahun—itu pun kalau tidak ada komplain. Jadi hitungan bisnisnya: beli 100 ribu barel Rp 128 miliar, tapi keluar biaya infrastruktur dan risiko lebih besar. Vivo sudah sempat deal 40 ribu barel, tapi setelah uji lab ketahuan ada etanol, langsung cabut. Shell dan APR? Mereka minta certificate of origin. Kalau nggak jelas, bisa kena sanksi internasional.”

Dewi menatapku dengan senyum satir.

“Jadi sebenarnya murah hanya di spanduk, mahal di akal sehat. Di Indonesia, masalahnya memang bukan BBM-nya, tapi cara berpikir bisnisnya.”

Aku tersenyum getir.

“Ya, di sini yang sering subsidi bukan harga, tapi logika. Yang dijual bukan efisiensi, tapi ilusi.”

“ otak bandit memang ! Kata Dewi tersenyum Pahit. Aku pindah duduk sebelah dia aja di sofa. Karena dia pakai rok diatas lutut, berkali kali geser sempaknya keliatan. Walau dia eksekutif usia 40 tapi okay punya barang.

oleh Erizeli Jely Bandaro dari facebook


This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon