Empat Putera Petir untuk Prof. Widjajono
by administrator
Senin, 23 April 2012
Saya
terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, Wakil
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru saja meninggal dunia
di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu
(21/4), yakni: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau
sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita
membangun kilang juga terbatas dan pertambahan kendaraan tidak bisa
dicegah, mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM?
Almarhum
sering sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa
perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar.
Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik.
Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas.
Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan
kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).
Almarhum
juga sangat setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan,
almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan.
Terutama dari jurusan gas dan dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang
keras dari dua jurusan itu akan terus timbul kesan di masyarakat bahwa
pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor BBM.
Pertamina
dikesankan lebih senang impor BBM karena bisa menjadi obyek korupsi dan
kolusi. Istilah mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan --entah
seperti apa wujud mafia itu. Seserius-serius Pertamina berupaya
memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi,
kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat
Tidak
mungkinkah kita berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya
berat sekali: kita harus memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu
baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita
sekarang ini sekitar 50 juta kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri
hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.
Kalau
kita menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang
baru sebanyak dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya
tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap,
Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi BBM-nya kurang
dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak kekurangannya itu?
Sejak
15 tahun lalu, kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun
kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang
Balongan, Jabar, yang dibangun oleh Presiden Soeharto di tahun 1994.
Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan pembangunan kilang
baru. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya impor BBM
tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru
tahun lalu Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di
Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua
kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan
kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300.000
barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp 70 triliun. Bayangkan kalau
harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina
harus menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di
samping biayanya sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang,
baru bisa dibangun manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti
apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya beda pula
desain teknologinya.
Para
pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa
mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor
kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya, meminta berbagai syarat
yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600 ha harus gratis,
pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan
dalam masa yang sangat panjang.
Kalau
dalam masa pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek
kilang sekaligus, tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya
sebut warisan karena bukan Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya,
tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Dari
gambaran itu, jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita
masih akan terus meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas
itu berhasil dilakukan dan mobil listrik nasional berhasil dimassalkan.
Kilang-kilang baru itu, seandainya pun berhasil dibangun, baru akan
menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita
tahu persis apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat
kilang-kilang itu nanti mulai berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi
entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.
Di
sinilah Prof Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut beliau,
seharusnya juga dilihat dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak
menyetujui kenaikan harga BBM, menurut beliau, pada dasarnya sama saja
dengan menganjurkan impor BBM sebanyak-banyaknya!
Kalau
Prof Widjajono sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya
sering mengajak bicara beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk
perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi gas memang bisa dilakukan
lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun, kami sepakat dua-duanya
harus dijalankan. Kami juga sepakat bahwa upaya ini tidak mudah, tapi
pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.
Saya
bersyukur sempat menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik
nasional. Ribuan email dan SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran
mobil listrik nasional itu. Dan yang secara serius mengajukan konsep,
desain, dan siap memproduksikannya ada empat orang.
Saya
sudah melakukan kontak intensif dengan empat orang tersebut. Saya juga
sudah membuat grup email bersama di antara empat orang tersebut. Kami
bisa melakukan rapat jarak-jauh membicarakan program-program ke depan.
Tanggal 21 April kemarin, kami menyelenggarakan rapat sesuai dengan
program semula, meski pun rapat itu berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut adalah orang-orang muda yang luar biasa.
Ada
nama Mario Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB,
kemudian mendapat bea siswa kuliah di Jerman. Mario bahkan sudah
melahirkan prototype sepeda motor listrik dan mobil listrik. Saya sudah
pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat siap memproduksi mobil listrik
nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun terakhir, Mario bekerjasama
dengan LIPI dan ITB.
Ada
nama Dasep Ahmadi yang juga kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB
(Teknik Mesin), yang kemudian sekolah di Jepang. Dasep pernah bekerja
lama di industri mobil sehingga tahu persis soal permobilan. Kini Dasep
mengembangkan industri mesin presisi dan memasok mesin-mesin untuk
industri mobil. Dasep sangat siap melahirkan prototype mobil listrik
nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini Dasep sedang mengerjakan
mobil-mobil itu.
Ada
nama Ravi Desai. Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi sudah lama
menjadi warga negara Indonesia. Dia lulusan universitas di India dan
kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia mendirikan D Innovation Center
dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC dan AC drive dan sudah
memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi sedang mengerjakan
dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai dalam dua bulan
mendatang.
Ada
pula nama Danet Suryatama. Anak Pacitan ini setelah lulus ITS
melanjutkan kuliah di Michigan, AS. Danet kemudian bekerja di bagian
teknik pabrik mobil besar di Amerika Setikat, Chrysler, selama 10 tahun.
Danet sangat siap memproduksi mobil listrik nasional. Saat ini, sambil
mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang menyelesaikan contoh mobil
listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua bulan ke depan.
Tentu
saya bisa salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin
saja ada nama-nama lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun
terlewat dari mata saya. Untuk itu saya siap menerima koreksi dan nama
susulan.
Kepada
keempat orang itu saya juga sudah informasikan betapa besar perhatian
Presiden SBY pada perencanaan mobil listrik nasional ini. Saya juga
kemukakan suasana pertemuan antara Presiden SBY dan empat rektor
perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI, dan ITS) yang penuh dengan
semangat.
Waktu
itu para rektor menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik
nasional ini dan memang sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga
mengemukakan masing-masing perguruan tingginya siap memberikan dukungan
apa saja.
Sebenarnya
saya ingin menghadirkan Prof Widjajono dalam pertemuan dengan empat
putra petir itu dalam waktu dekat. Tapi, Prof Widjajono lebih dulu
meninggalkan kita. Meski begitu Prof, saya berjanji kepada Profesor akan
tetap meng-emailkan hasil pertemuan dengan empat putra petir itu ke
alamat email Anda yang pernah Anda berikan kepada saya. Saya juga
berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik nasional itu nanti ke
alamat email Anda. (*)
*) Dahlan Iskan adalah Menteri BUMN.